Minggu, 22 September 2013

Sikap dan Kepuasan Kerja



1.     Sikap
Sikap (attitude) adalah pernyataan-pernyataan evaluatif baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek,individu,ataupun peristiwa. Menurut G.W Alport dalam (Tri Rusmi Widayatun, 1999 :218) sikap adalah kesiapan seseorang untuk bertindak. Seiring dengan pendapat G.W. Alport di atas Tri Rusmi Widayatun memberikan pengertian sikap adalah “keadaan mental dan syaraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua obyek dan situasi yang berkaitan dengannya”.
Sedangkan Jalaluddin Rakhmat ( 1992 : 39 ) mengemukakan lima pengertian sikap, yaitu:
A.   Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok.
B.    Sikap mempunyai daya penolong atau motivasi. Sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apakah orang harus pro atau kontra terhadap sesuatu; menentukan apa yang disukai, diharapkan, dan diinginkan; mengesampingkan apa yang tidak diinginkan, apa yang harus dihindari.
C.  Sikap lebih menetap. Berbagai studi menunjukkan sikap politik kelompok cenderung dipertahankan dan jarang mengalami pembahan.
D. Sikap mengandung aspek evaluatif: artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan.
E.  Sikap timbul dari pengalaman: tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh atau diubah.
Menurt La Pierre (dalam Azwar, 2003) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Sedangkan menurut Soetarno (1994), sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak terhadap obyek tertentu. Sikap senantiasa diarahkan kepada sesuatu artinya tidak ada sikap tanpa obyek. Sikap diarahkan kepada benda-benda, orang, peritiwa, pandangan, lembaga, norma dan lain-lain.

2.      Apa saja komponen utama dari sikap?
·         Kognitif (cognitive) merupakan aspek intelektual, yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia, berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. Sekali kepercayaan itu telah terbentuk maka ia akan menjadi dasar seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dari obyek tertentu. (segmen opini atau keyakinan dari sikap)
·         Afektif (affective) merupakan aspek emosional dari faktor sosio psikologis, didahulukan karena erat kaitannya dengan pembicaraan sebelumnya, aspek ini menyangkut masalah emosional subyektif seseorang terhadap suatu obyek sikap. Secara umum komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki obyek tertentu. (segmen emosional atau perasaan dari sikap)
·         Konatif (conative) merupan komponen aspek vohsional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak. Komponen konatif atau komponen perilaku dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku dengan yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapi.
Ketiga komponen tersebut sangat berkaitan. Secara khusus, dalam banyak cara antara kesadaran dan perasaan tidak dapat dipisahkan. Sebagai contoh, seorang karyawan tidak mendapatkan promosi yang menurutnya pantas ia dapatkan, tetapi yang malah mendapat promosi tersebut adalah rekan kerjanya. Sikap karyawan tersebut terhadap pengawasnya dapat diilustrasikan sebagai berikut : opini, (karyawan tersebut berpikir ia pantas mendapat promosi itu), perasaan (karyawan tersebut tidak menyukai pengawasnya), dan perilaku (karyawan tersebut mencari pekerjaan lain). Jadi, opini / kesadaran menimbulkan perasaan yang kemudian menghasilkan perilaku ,dan pada kenyataannya komponen-komponen ini berkaitan dan sulit untuk dipisahkan.
Para peneliti telah berasumsi bahwa sikap mempunyai tiga komponen, yaitu kesadaran, perasaaan dan perilaku. Kesadaran merupakan sebuah keyakinan, keyakinan bahwa “diskriminasi itu salah” merupakan sebuah pernyataan evaluatif. Opini semacam ini adalah komponen kognitif (cognitive component) dari sikap, yang menentukan tingkatan untuk bagian yang lebih penting dari sebuah sikap.
Perasaan adalah segmen emosional atau perasaan dari sebuah sikap dan tercermin dalam pernyataan seperti “saya tidak menyukai pengawas karena ia mendiskriminasi orang-orang minoritas”. Perasaan bisa menimbulkan hasil akhir perilaku. Komponen perilaku (behavioral component) adalah niat untuk berperilaku dalam cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu. Jadi, untuk meneruskan contoh diatas “saya mungkin memilih untuk menghindari pengawas dikarenakan perasaan saya tentang ia”.
Perlu diingat bahwa komponen-komponen ini sangat berkaitan. Secara khusus, dalam banyak cara kesadaran dan perasaan tidak dapat dipisahkan dan saling berkaitan karena kesadaran akan menimbulkan perasaan yang kemudian akan menghasilkan perilaku. Gambar dibawah ini menunjukkan hubungan dari tiga komponen sikap. Dalam contoh ini, seorang karyawan tidak mendapatkan promosi yang menurutnya pantas ia dapatkan, tetapi malah didapat oleh seorang rekan kerjanya. Sikap karyawan tersebut terhadap pengawasnya diilustrasikan sebagai berikut : kesadaran (karyawan tersebut berpikir ia pantas mendapatkan promosi tersebut), perasaan (karyawan tersebut sangat tidak menyukai pengawasnya), dan perilaku (karyawan tersebut mencari pekerjaan lain).

3.    Seberapa Konsistenkah Sikap Itu ?
          Pada umumnya, penelitian menyimpulkan bahwa individu mencari konsistensi diantara sikap mereka serta antara sikap dan perilaku mereka. Ini berarti bahwa individu berusaha untuk menetapkan sikap yang berbeda serta meluruskan sikap dan perilaku mereka sehingga mereka terlihat rasional dan konsisten. Ketika terdapat ketidakkonsistenan, timbullah dorongan untuk mengembalikan individu tersebut ke keadaan seimbang dimana sikap dan perilaku kembali konsisten. Ini bisa dilakukan dengan cara mengubah sikap maupun perilaku, atau dengan mengembangkan rasionalisasi untuk ketidaksesuaian. Pada akhir tahun 1950an, Leon Festinger mengemukakan teori ketidaksesuai   kognitif (cognitive dissoanance). Teori ini berusaha menjelaskan hubungan antara sikap dan perilaku. Ketidaksesuaian berarti ketidakkonsistenan. Ketidaksesuaian kognitif merujuk pada ketidaksesuaian yang dirasakan oleh seorang individu antar dua sikap atau lebih, atau antara perilaku dan sikap. Festinger berpendapat bahwa bentuk ketidakkonsistenan apa pun tidaklah menyenangkan dan bahwa individu akan berusaha mengurangi ketidaksesuaian dan, tentunya, ketidaknyamanan tersebut. Oleh karena itu, individu akan mencari keadaan yang stabil, dimana hanya ada sedikit ketidaksesuaian. Tentu saja, tidak ada individu yang bisa sepenuhnya menghindari ketidaksesuaian. Fistinger menduga bahwa keinginan untuk mengurangi ketidaksesuaian akan ditentukan oleh pentingnya elemen-elemen yang menciptakan ketidaksesuaian, tingkat pengaruh yang dimiliki oleh seorang individu terhadap elemen-elemen tersebut, dan penghargan yang mungkin terlibat dalam ketidaksesuaian. Apabila elemen-elemen yang menghasilkan ketiksesuaian relatif tidak penting, tekanan untuk memperbaiki ketidaksesuaian akan rendah. Tingkat pengaruh yang diyakini  seseorang terhadap elemen-elemen tersebut akan berpengaruh terhadap bagaimana mereka bereaksi atas ketidaksesuaian tersebut. Apabila merasa ketidaksesuaian tersebut disebabkan oleh suatu hal atas mana mereka tidak memiliki pilihan lain, kemungkinan besar mereka kurang menerima perubahan sikap. Sebagai contoh, apabila perilaku yang menghasilkan ketidaksesuaian dianggap sebagai hasil dari instruksi atasan, tekanan untuk mengurangi ketidaksesuaian akan lebih sedikit bila dibandingkan dengan jika perilaku tersebut ditampilkan secara sukarela. Meskipun ada ketidaksesuaian, hal ini masuk akal dan dapat dijelaskan. Penghargaan juga memengaruhi tingkat sampai mana individu termotivasi untuk mengurangi ketidaksesuaian. Penghargaan tinggi yang menyertai ketidaksesuaian yang tinggi cenderung mengurangi ketegangan yang melekat pada ketidaksesuaian. Penghargaan berfungsi mengurangi ketidaksesuaian dengan cara meningkatkan sisi konsistensi dari neraca individu. Faktor-faktor ini menyatakan bahwa hanya karena individu mengalami ketidaksesuaian, mereka tidak harus bergerak langsung untuk menguranginya. Apabila persoalan yang mendasari ketidaksesuaian tersebut dibebankan secara eksternal dan pada dasarnya tidak bisa dikendalikan oleh mereka, atau apabila penghargaan-penghargaan tersebut cukup signifikan untuk mengimbangi ketidaksesuaian, individu tersebut tidak akan mengalami ketegangan hebat untuk mengurangi ketidaksesuaian. Implikasi organisasional dari teori ketidaksesuaian kognitif bisa membantu memprediksi kecenderungan untuk terlibat dalam perubahan sikap dan perilaku. Sebagai contoh, apabila tuntutan pekerjaan mengharuskan individu untuk mengatakan atau melakukan hal-hal yang berlawanan dengan sikap pribadi, mereka cenderung mengubah sikap mereka untuk membuatnya selaras dengan kesadaran akan apa yang telah mereka katakan atau lakukan. Selain itu, semakin besar ketidaksesuaian setelah ditinjau dari faktor kepentingan, pilihan, dan penghargaan semakin besar tekanan untuk menguranginya.
              4.    Apakah Perilaku Selalu Mengikuti Sikap ?
Penelitian yang sebelumnya telah menegaskan bahwa sikap mempengaruhi perilaku dan menganggap bahwa sikap mempunyai hubungan sebab akibat dengan perilaku, yaitu sikap yang dimiliki individu menentukan apa yang mereka lakukan. Akal sehat juga menyatakan sebuah hubungan. Namun, pada akhir ahun 1960an, hubungan yang diterima tentang sikap dan perilaku ditentang oleh sebuah tinjauan dari penelitian. Berdasarkan evaluasi sejumlah penelitian yang menyelidiki hubungan sikap-perilaku, peninjau menyimpulkan bahwa sikap tidak berhubungan dengan perilaku atau, paling banyak, hanya berhubungan sedikit. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa sikap memprediksi perilaku masa depan secara signifikan dan memperkuat keyakinan semula dari Festinger bahwa hubungan tersebut bisa ditingkatkan dengan memperhitungkan variabel-variabel pengait. Variabel pengait hubungan sikap-perilaku yang paling kuat adalah pentingnya sikap, kekhususannya, aksesibilitasnya, apakah ada tekanan-tekanan sosial, dan apakah seseorang mempunyai pengalaman langsung dengan sikap tersebut. Sikap yang penting adalah sikap yang mencerminkan nilai-nilai fundamental, minat diri, atau identifikasi dengan individu atau kelompok yang dihargai oleh seseorang. Sikap-sikap yang dianggap penting oleh individu cenderung menunjukkan hubungn yang kuat dengan perilaku. Semakin khusus sikap tersebut dan semakin khusus perilaku tersebut, semakin kuat hubungan antar keduanya.
Sikap yang mudah diingat cenderung lebih bisa digunakan untuk memprediksi perilaku bila dibandingkan sikap yang tidak bisa diakses dalam ingatan. Menariknya, Anda cenderung lebih mengingat sikap yang sering diungkapkan. Jadi, semakin sering Anda berbicara tentang sikap Anda mengenai suatu persoalan, semakin besar kemungkinan Anda untuk mengingatnya, dan semakin besar kemungkinan sikap ini membentuk perilaku Anda. Ketidaksesuaian antara sikap dan perilaku kemungkian besar muncul ketika tekanan sosial untuk berperilaku dalam cara-cara tertentu memiliki kekuatan yang luar biasa. Akhirnya, hubungan sikap-perilaku mungkin sekali menjadi jauh lebih kuat apabila sebuah sikap merujuk pada sesuatu dengan mana individu tersebut mempunyai pengalaman pribadi secara langsung.
Teori persepsi (self-perception theory), telah menghasilkan beberapa penemuan dan membuktikan bahwa sikap digunakan, setelah melakukan sesuatu, untuk memahami suatu tindakan yang telah terjadi daripada sebagai alat yang mendahului dan memandu tindakan. Berlawanan dengan teori ketidaksesuaian kognitif, sikah hanyalah pernyataan verbal yang sederhana. Ketika individu ditanyai tentang sikap mereka dan mereka tidak mempunyai pendirian atau perasaan yang kuat, teori persepsi diri mengatakan bahwa mereka cenderung membuat jawaban yang masuk akal.
Sementara hubungan sikap-perilaku yang tradisional pada umumnya positif, hubungan perilaku-sikap sama kuatnya. Ini sangat benar ketika sikap yang ada tidak jelas dan ambigu. Ketika Anda mempunyai sedikit pengalaman terkait persoalan sikap atau memberikan sedikit pemikiran sebelumnya tentang hal tersebut, kemungkinan besar Anda akan menyimpulkan sikap Anda dari perilaku Anda. Namun, ketika sikap Anda telah terbentuk untuk sementara waktu dan didefinisikan dengan baik, sikap tersebut kemungkinan besar akan menuntun perilaku Anda.

5.    Apakah Sikap Kerja Yang Utama ?
Seseorang bisa memiliki ribuan sikap, tetapi PO memfokuskan perhatian pada jumlah yang sangat terbatas mengenai sikap yang berkaitan dengan kerja. Sikap kerja berisi evaluasi positif atau negatif yang dimiliki oleh karyawan tentang aspek-aspek lingkungan kerja mereka. Sebagian besar penelitian dalam PO berhubungan dengan tiga sikap, antara lain : kepuasan kerja, keterlibatan pekerjaan, dan komitmen organisasional. Beberapa sikap lain menarik perhatian para peneliti, termasuk dukungan organisasional yang dirasa  dan keterlibatan karyawan, kita juga akan mendiskusikan sikap ini dengan singkat.
Kepuasan kerja (job satisfaction) dapat didefinisikan sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sementara seseorang yang tidak puas memiliki perasaan-perasaan yang negatif tentang pekerjaan tersebut. Ketika individu membicarakan sikap karyawan, yang sering dimaksudkan adalah kepuasan kerja. Pada kenyataannya, keduanya sering digunakan secara terbalik. Keterlibatan kerja (job involvement) mengukur tingkat sampai mana individu secara psikologis memihak pekerjaan mereka dan menganggap penting tingkat kinerja yang dicapai sebagai bentuk penghargaan diri. Karyawan yang mempunyai tingkat keterlibatan pekerjaan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan. Konsep pemberian wewenang psikologis (psychological empowerment), yaitu keyakinan karyawan terhadap sejauh apa mereka memiliki lingkugan kerja, kompetensi, makna pekerjaan, dan otonomi dalam pekerjaan juga sangat berkaitan dengan sikap kerja. Sebagai contoh, sebuah penelitian tentang pendidikan manajer di Singapura menemukan bahwa pemimpin-pemimpin yang baik memberikan wewenang kepada karyawan mereka dengan melibatkan mereka dalam keputusan, yang membuat mereka merasa bahwa pekerjaan mereka penting, dan memberi mereka keleluasaan untuk “melakukan yang mereka yakini”. Tingkat keterlibatan pekerjaan dan pemberian wewenang yang tinggi benar-benar berhubungan dengan kewargaan organisasional dan kinerja pekerjaan. Selain itu, telah diketahui bahwa keterlibatan pekerjaan yang tinggi berhubungan dengan ketidakhadiran yang lebih sedikit dan angka pengunduran diri yang lebih rendah.
Komitmen organisasional (organizational commitment), yang didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Jadi, keterlibatan pekerjaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seorang individu, sementara komitmen organisasional yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut. Tiga dimensi terpisah komitmen organisasional adalah :
1.      Komitmen afektif (affective commitment) yaitu : perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya. Sebagai contoh, seorang karyawan PT. X mungkin memiliki komitmen aktif untuk perusahaanya karena keterlibatannya dengan hewan-hewan.
2.      Komitmen berkelanjutan (continueance commitment), yaitu : nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalnya organisasi tersebut. Sebagai contoh, seorang karyawan mungkin berkomitmen kepada seorang pemberi kerja karena ia dibayar tinggi dan merasa bahwa pengunduran diri dari perusahaan akan menghancurkan keluarganya.
3.      Komitmen normatif (nomative commitment), yaitu : kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-alasan moral atau etis. Sebagai contoh, seorang karyawan yang memelopori sebuah inisiatif baru mungkin bertahan dengan seorang pemberi kerja karena ia merasa “meninggalkan seseorang dalam keadaan yang sulit bila ia pergi”.
Tampaknya, ada suatu hubungan positif antara komitmen organisasional dan produktivitas kerja, tetapi hubungan tersebut sangat sederhana. Seperti halnya keterlibatan pekerjaan, bukti penelitian menujukkan hubungan negatif antara komitmen organisasional dengan ketidakhadiran maupun perputaran karyawan.
Dukungan organisasional yang dirasakan (perceived organizational support POS) adalah tingkat sampai mana karyawan yakin organisasi menghargai kontribusi mereka dan peduli dengan kesejahteraan mereka. Penelitian menunjukkan bahwa individu merasa organisasi mereka bersikap suportif ketika penghargaan dipertimbangkan dengan adil, karyawan mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, dan pengawas mereka dianggap suportif. Keterlibatan karyawan (employee engagement), yaitu keterlibatan, kepuasan, dan antusiasme individual dengan kerja yang mereka lakukan. Sebuah penelitian baru menemukan bahwa unit bisnis yang tingkat keterlibatan karyawannya rata-rata tinggi mempunyai tingkat kepuasan pelanggan yang lebih tinggi, lebih produktif, mempunyai keuntungan yang lebih tinggi, serta tingkat perputaran karyawan  dan kecelakaan yang lebih rendah.

6.    Bagaimana Sikap Karyawan Dapat Diukur ?
Survei sikap yang umum memberikan karyawan serangkaian pernyataan atau pertanyaan dengan skala penilaian yang menunjukkan tingkat kecocokan. Survei sikap merupakan upaya mendapatkan respons dari karyawan melalui kuesioner mengenai perasaan mereka terhadap pekerjaan, tim kerja, penyelia dan organisasi.
Penggunaan survei sikap secara teratur memberi manajer umpan balik yang berharga mengenai bagaimana karyawan menerima kondisi kerja mereka. Kebijaksanaan dan praktik yang dianggap objektif dan adil oleh manajemen mungkin dianggap tidak adil oleh karyawan pada umumnya atau oleh kelompok karyawan tertentu. Apabila persepsi yang menyimpang ini menimbulkan sikap negatif tentang pekerjaan dan organisasi, adalah penting bagi manajemen untuk mengetahuinya. Mengapa ? karena, perilaku karyawan didasarkan pada persepsi, bukan kenyataan. Penggunaan survei sikap reguler bisa lebih awal menyiagakan manajemen terhadap masalah-masalah potensial dan niat-niat para karyawan sehingga tindakan bisa diambil untuk mencegah berbagai akibat negatif.

7.    Apa Arti Penting Dari Sikap Terhadap Keragaman di Tempat Kerja ?
       Para manajer semakin khawatir dengan sikap karyawan yang berubah untuk mencerminkan perspektif yang berubah mengenai ras, gender, dan persoalan perbedaan lainnya. Seperti apakah program keberagaman ini dan bagaimana hal ini menyampaikan perubahan sikap ? Hampir semuanya meliputi fase evaluasi diri. Individu didesak untuk memeriksa diri sendiri serta meghadapi stereotip etnis dan kultural yang mungkin mereka miliki. Kemudian, para partisipan biasanya ambil bagian dalam diskusi kelompok atau panel-panel dengan wakil dari berbagai kelompok.
            Aktivitas tambahan yang dirancang untuk mengubah sikap termasuk mengatur individu untuk melakukan pekerjaan sukarela di pusat-pusat layanan sosial atau masyarakat guna bertemu secara langsung dengan individu atau kelompok dari latar belakang yang berbeda-beda serta menggunakan latihan yang membiarkan para partisipan merasakan seperti apakah menjadi berbeda itu. Bukti menyatakan latihan ini mengurangi sikap negatif terhadap individu yang berbeda dari para partisipan. Hal ini bertujuan untuk membantu mengubah sikap karyawan dan meningkatkan kesadaran akan perbedaan dan ketrampilan para karyawan.

8.      KEPUASAN KERJA
Menurut (Newstrom)  mengemukakan bahwa “job satisfaction is the favorableness or unfavorableness with employes view their work”. Kepuasan kerja berarti perasaan mendukung atau tidak mendukung yang dialami [pegawai] dalam bekerja. Menurut Wexley dan Yukl mengartikan kepuasan kerja sebagai “the way an employee feels about his or her job”. Artinya bahwa kepuasan kerja adalah cara pegawai merasakan dirinya atau pekerjaannya. dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan yang menyokong atau tidak menyokong dalam diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaan maupun kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek seperti upaya, kesempatan pengembangan karier, hubungan dengan pegawai lain, penempatan kerja, dan struktur organisasi. Sementara itu, perasaan yang berhubungan dengan dirinya antara lain berupa umur, kondisi kesehatan, kemampuan dan pendidikan.
Menurut Taufik Noor Hidayat, kepuasaan kerja Keadaan emosional yang menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini dampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya.
Sedangkan menurut Stephen Robins, kepuasan itu terjadi apabila kebutuhan-kebutuhan individu sudah terpenuhi dan terkait dengan derajat kesukaan dan ketidaksukaan dikaitkan dengan pegawai; merupakan sikap umum yang dimiliki oleh Pegawai yang erat kaitannya dengan imbalan-imbalan yang mereka yakini akan mereka terima setelah melakukan sebuah pengorbanan. Apabila dilihat dari pendapat Robin tersebut terkandung dua dimensi, pertama, kepuasan yang dirasakan individu yang titik beratnya individu anggota masyarakat, dimensi lain adalah kepuasan yang merupakan sikap umum yang dimiliki oleh pegawai.

9.    Mengukur Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja yang merupakan sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang hasil dari sebuah evaluasi karateristiknya. Dimana setiap pekerjaan menuntut interaksi dalam rekan kerja dan atasan-atasan, mengikuti peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan organisasional, memenuhi standar-standar kriteria, menerima kondisi-kondisi kerja yang kurang ideal dan lain-lain. Ini berarti bahwa penilaian seorang karyawan tentang seberapa puas atau tidak puas dengan pekerjaan.
Dua pendekatan yang paling digunakan adalah penilaian tunggal secara umum dan nilai penyajian akhir yang terdiri atas sejumlah aspek pekerjaan.
1.Pendekatan penilaian tunggal adalah meminta individu untuk merespon pertanyaan seperti mempertimbangkan seberapa puas dalam pekerjaan.  Contoh metode penilaian tunggal adalah memberi kebebasan kepada manajer untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi pada perusahaan.
2. Pendekatan penyajian akhir aspek pekerjaan adalah elemen-elemen penting dalam suatu pekerjaan dan menanyakan perasan karyawan tentang setiap elemen. Faktor-faktor terdiri dari sifat pekerjaan, pengawasan, bayaran saat ini, peluang promosi, dan hubungan dengan rekan-rekan kerja. Faktor ini berdasarkan skala standar dan dijumlahkan untuk mendapatkan nilai kepuasaan kerja secara keseluruhan. Contoh pendekatan penyajian akhir adalah memberikan solusi kepada manajer dalam menangani karyawan yang tidak bahagia dalam menyelesaikan masalah.

10. faktor yang mempengaruhi kepuasaan kerja 
Menurut Burt (Anoraga, 1992) faktor yang menentukan terbentuknya kepuasan kerja adalah :
1.   Lingkungan, terdiri dari tingkat pekerjaan, isi pekerjaan, pimpinan yang penuh perhatian, kesempatan promosi dan interaksi sosial dan bekerja dalam kelompok.
2. Faktor individual, terdiri dari jenis kelamin, lamanya bekerja dan  tingkat pendidikan.
3. Rasa aman merupakan situasi tentram dalam kerja, rasa bebas dari tekanan kebijaksanaan, jaminan dan kelangsungan pekerjaan yang dirasakan pekerja.
4. Kondisi kerja merupakan kenyamanan ruang kerja yang dirasakan dapat mempengaruhi aktivitas kerja, luas sempitnya ruangan, prgantian udara, terbuka dan tertutupnya ruangan dan suasana ketenangan kerja.
5. Waktu istirahat, maksudnya adalah istirahat yang resmi diberikan perusahaan, yang tidak resmi yang dibutuhkan oleh pekerja.
As’ad, (1992) mengemukakan faktor-faktor kepuasan kerja :
o   Faktor pemimpin dan karyawan, faktor fisik dan kondisi kerja, hubungan sosial di antara karyawan, sugesti dari teman sekerja, emosi dan situasi kerja.
o   Faktor individu, yaitu yang berhubungan dengan sikap orang terhadap pekerjaannya.
o   Faktor luar, yaitu dukungan yang berasal dari luar diri individu misalnya keluarga.
Kepuasan kerja berhubungan erat dengan aspek seperti umur, tingkat pekerjaan dan ukuran organisasi perusahaan (Jewell dan Siegall, 1998).
    
a.      Umur, ada kecenderungan karyawan yang lebih tua lebih merasa puas dari karyawan yang berumur relatif lebih muda. Hal ini diasumsikan bahwa karyawan yang lebih tua telah berpengalaman sehingga ia mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan, sedangkan karyawan usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia kerjanya, sehingga apabila harapannya dengan realita kerja terdapat kesenjangan, atau ketidakseimbangan dapat meyebabkan mereka menjadi tidak puas.
b.      Tingkat pekerjaan, karyawan yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi cenderung lebih puas daripada karyawan yang tingkat pekerjaannya lebih rendah. Hal tersebut dapat terlihat pada karyawan yang tingkat pekerjaannya lebih tinggi menunjukkan kemampuan kerja yang baik dan aktif mengemukakan ide-ide serta kreatif dalam bekerja.
c.       Ukuran organisasi perusahaan, ukuran organisasi perusahaan dapat mempengaruhi kepuasan karyawan. Hal ini karena besar kecil suatu perusahaan berhubungan pula dengan koordinasi, komunikasi dan partisipasi karyawan.
             Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dalam kepuasan kerja antara lain yaitu : pemimpin dan karyawan, jenis kelamin, lamanya bekerja dan tingkat pendidikan, lingkungan, rasa aman, kondisi kerja, umur, tingkat pekerjaan, lingkungan, waktu istirahat, dukungan yang berasal dari luar diri dan ukuran organisasi perusahaan.

11.  Aspek Kepuasaan Kerja
Lima aspek yang terdapat dalam kepuasan kerja, yaitu:
  1. Pekerjaan itu sendiri (Work It self),Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan tertentu sesuai dengan bidang nya masing-masing. Sukar tidaknya suatu pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja.
  2. Atasan(Supervision), atasan yang baik berarti mau menghargai pekerjaan bawahannya. Bagi bawahan, atasan bisa dianggap sebagai figur ayah/ibu/teman dan sekaligus atasannya.
  3. Teman sekerja (Workers), Merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan antara pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya.
  4. Promosi(Promotion),Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh peningkatan karier selama bekerja.
  5. Gaji/Upah(Pay), Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau tidak.
          Aspek-aspek lain yang terdapat dalam kepuasan kerja :
  1. Kerja yang secara mental menantang,Kebanyakan Karyawan menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalamai kesenangan dan kepuasan.
  2. Ganjaran yang pantas, Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil,dan segaris dengan pengharapan mereka. Pemberian upah yang baik didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. tidak semua orang mengejar uang. Banyak orang bersedia menerima baik uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam kerja yang mereka lakukan dan jam-jam kerja. Tetapi kunci yang manakutkan upah dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan; yang lebih penting adalah persepsi keadilan. Serupa pula karyawan berusaha mendapatkan kebijakan dan praktik promosi yang lebih banyak, dan status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu individu-individu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dalam cara yang adil (fair and just) kemungkinan besar akan mengalami kepuasan dari pekerjaan mereka.
  3. Kondisi kerja yang mendukung,Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas. Studi-studi memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang tidak berbahaya atau merepotkan. Temperatur (suhu), cahaya, kebisingan, dan faktor lingkungan lain seharusnya tidak esktrem (terlalu banyak atau sedikit).
  4. Rekan kerja yang mendukung, Orang-orang mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan sosial. Oleh karena itu bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan menyenagkan dapat menciptakan kepuasan kerja yang meningkat. Tetapi Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan.
  5. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan, Pada hakikatnya orang yang tipe kepribadiannya kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih seharusnya mendapatkan bahwa mereka mempunyai bakat dan kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka. Dengan demikian akan lebih besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan tersebut, dan karena sukses ini, mempunyai kebolehjadian yang lebih besar untuk mencapai kepuasan yang tinggi dari dalam kerja mereka.
12. Seberapa Puas Individu Dengan Pekerjaan Mereka
Pada dasarnya individu sangat puas dengan pekejaan mereka tetapi sangat bergantung pada segi kepuasan kerja itu sendiri. Misalnya secara rata-rata individu merasa puas dengan dengan keseluruhan pekerjaan mereka, dengan kerja itu sendiri, pengawasan dan rekan kerja. Tetapi mereka terdapat tidak puas dengan upah maupun promosi yang diberikan perusahaan karena ketidakpuasan dari individu itub sendiri.
13.      Apakah Yang Menyebabkan Kepuasan Kerja?
Kepuasan kerja terbentuk ketika seseorang menyukai pekerjaan yang dikerjakan. Dalam hal ini kepuasaan kerja yang dinikmati adalah kerja itu sendiri, bayaran, kenaikan jabatan, pengawasan dan rekan kerja. Pekerjaan dikatakan menarik apabila diberikan pelatihan, variasi, kebebasan, dan kendali untuk memuaskan karyawan, dengan kata lain sebagian individu lebih menyukai kerja yang menantang dan membangkitkan semangat daripada kerja yang diramalkan dan rutin.
14.              14.   Pengaruh Dari Karyawan Yang Tidak Puas Dan Puas Terhadap Tempat Kerja
 Ada konsekuensi ketika karyawan menyukai pekerjaan mereka dan ada konsekuensi ketika karyawan tidak menyukai pekerjaan mereka. Empat respon kerangka teoritis terhadap pengaruh tersebut adalah sebagai berikut:
1.Keluar (exit) adalah prilaku yang ditujukan untuk meninggalkan organisasi    termasuk mencari posisi baru dan mengundurkan diri
2.  Aspirasi (voice) adalah secara aktif dan konstruktif berusaha memperbaiki kondisi termasuk menyarankan perbaikan,mediskusikan masalah dengan atasan, dan beberapa bentuk aktivitas sertifikat kerja
3.  Kesetian (loyalty) adalah secara pasif tetapi optimis menunggu membaiknya  kondisi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan dengan kecaman eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemen untuk melakukan hal yang benar.
4.  Pengabdian (neglect) adalah secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk, termasuk ketidakhadiran atau keterlambatan yang terus menerus, kurangnya usaha dan meningkatnya angka kesalahan Prilaku keluar dan pengabdian mencakup variabel kinerja seperti produktivitas, ketidakhadiran, dan perputaran karyawan. tetapi model ini mengembangkan respon karyawan untuk mencakup pengaruh dari kesetiaan yang berprilaku konstruktif yang memungkinkan individu untuk menoleransi situasi yang tidak menyenangkan atau membangkitkan kondi kerja yang memuaskan. Hal ini membantu kita memahami berbagai situasi pada pekerja yang membentuk serikat kerja. Anggota serikat kerja sering mengungkapkan ketidakpuasan melalui prosedur keluhan atau negosiasi kontrak formal.maka kerangka konsekuensi kerja lebih detail adalah sebagai berikut:
o   Kepuasan Kerja Dan Kinerja. Pada dasarnya produktivitas dan kepuasan kerja pada organisasi bahwa organisasi yang mempunyai karyawan yang puas terhdap pekerjaan mereka lebih efektif dibandingkan organisasi yang karyawannya yang tidak puas terhadap pekerjaan mereka.
o   Kepuasan Kerja dan OCB. Kepuasan kerja menjadi faktor penentu dari prilaku kewargaan oranisaional (OCB) pada seorang karyawan. karyawan yang puas tampak berbicara secara positif tentang organisasi, membantu individu lain dan melewati harapan normal dalam pekerjaan mereka. Selain itu karyawan yang puas akan mudah berbuat baik dalam pekerjaan mereka ketika merespons pengalaman positif mereka. Selain itu kepuasan mempengaruhi OCB dalam segi keadilan. Hal ini terlihat ketika karyawan tidak puas terhadap pengawasan, prosedur, kebijakan dan pembayaran yang tidak sesuai maka akan memnurun secara signifikan kepuasan kerja anda.
o   Kepuasan Kerja dan Kepuasan Pelanggan. Dalam organisasi jasa pemeliharaan dan peninggalan pelanggan sangat bergantung pada bagaimana karyawan garis depan berhubungan dengan pelanggan. Karyawan yang merasa puas cenderung lebih ramah, ceria dan responsif yang dihargai oleh pelanggan. Karena karyawan yang puas tidak akan pindak pekerjaan dan pelanggan kemungkinan besar akan menenui wajah yang familiar dan menerima layanan yang berpengalaman. Kualitas ini yang membangun kepuasan dan kesetiaan pelanggan. Selain itu pada organisasi jasa yang lebih memiliki tujuan untuk menyenangkan pelanggan. Untuk mencapai tujuan tersebut organisasi jasa lebih fokus pada pembangunan kepuasan karyawan. dimana kepuasan karyawan bisa memberikan kontribusi terhadap tujuan mereka dan memilki pelanggan yang bahagia. Perusahaan ini yang mempekerjakan karyawan yang ceria dan ramah, melatih karyawan demi kepentingan layanan pelanggan, menghargai layanan pelanggan, memberikan suasana kerja karyawan yang positif dan memantau kepuasan karyawan secara tetap melalui survei-survei sikap.
o   Kepuasan Kerja dan Ketidakhadiran. Hubungan yang negatif antara kepuasan dan ketidakhadiran. Karyawan yang tidak puas cenderung melalaikan pekerjaan, faktor lain yang memilki pengaruh pada hubungan tersebut dan mengurangi koefisien korelasi. Contohnya organisasi yang memberikan tunjangan cuti sakit secara bebas berupaya membesarkan hati semua karyawan mereka termasuk mereka yang sangat puas untuk mengambil cuti. Anggap saja karyawan mempunyai minat beragam, karyawan bisa saja merasa kerja puas tetapi masih saja untuk menikmati tamasya selama tiga hari. Maka hal ini tidak sesuai dengan cuti sebenarnya tetapi peluang ini sering digunakan oleh karyawan,
o   Kepuasan Kerja dan Perputaran Karyawan. kepuasan juga berhubungan negatif dengan perputaran karyawan. faktor yang biasa disebabkan oleh kondisi pasar tenaga kerja, harapan tentang peluang pekerjaan alternatif dan lamanya masa jabatan dengan organisasi penting tentang keputusan yang aktual untuk meninggalkan pekerjaan seseorang pada saat ini. Hubungan kepuasan dengan perputaran karyawan adalah tingkat kinerja karyawan khususnya pada tingakat kepuasan tidak begitu penting dalam memprediksi perputaran karyawan untuk pekerja-pekerja ulung. Oleh karena itu kita berharap bahwa kepuasan akan penting dengan mempengaruhi pekerja yang tidak baik untuk tinggal bila dibandingkan dengan pekerja ulung. Tanpa memperhatikan tingkat kepuasan yang dimilki kemungkinan yang lebih besar untuk tinggal dengan orhanisasi karena pengakuan, pujian, dan penghargaan-penghargaan lain yang memberikan banyak alasan untuk tinggal.
o   Kepuasan Kerja dan Prilaku Menyimpang di Tempat Kerja. Ketidakpuasan kerja memprediksi banyak prilaku khusus termasuk upaya pembentukan serikat kerja, penyalahgunaan hakikat, pencurian ditempat kerja, pergaulan yang tidak pantas dan kelambanan. Maka apabila karyawan tidak menyukai lingkungan kerja mereka maka respon pekerja akan keluar, tetapi bagi pekerja lain mungkin juga akan merespons dengan menggunakan jam kerja untuk keperluan pribadi mereka akhirnya. Untuk para pemberi kerja yang ingin mengendalikan konsekuensi yang tidak diinginkan dari ketidakpuasan kerja, mereka lebih baik menyelesaikan sumber masalahnya.
15. Teori Yang Berkaitan Budaya Organisasi Dengan Kepuasan Kerja  
Teori-teori yang mempunyai kedekatan dengan budaya organisasi dan kepuasan kerja
o  Studi empiris yang disajikan oleh Chow, et al,.(2001).
Studi ini mengkaji beberapa himpunan antara budaya orgpnisasi dan kepuasan kerja karyawan dalam konteks budaya Cina. Pengujian hipotesis dilakukan pada 762 responden kuesioner, yang mana kuesioner tersebut diisi oleh sebagian besar karyawan dari berbagai divisi dan wilayah fungsional pada setiap tingkatan staf perusahaan. Dan hasilnya menunjukan bahwa banyaknya tanggapan positif terhadap pentingnya pengaruh budaya orgianisasi dalam mencapai kepuasan kerja karyawan. Seperti apa yang kita ketahui  bahwa negara cina merupakan negara yang sangat padat akan berbagai lingkungan kerja. Keberadaan karyawan merupakan sumber utama keberhasilan sebuah perusahaan. Karenanya tingkat kepuasan kerja yang dibutuhkan juga relatif  tinggi. Oleh sebab itu, peran yang dimainkan oleh budaya organisasi sangat penting untuk dikembangkan.
o  Studi empiris yang disajikan oleh Pool (2001)
Studi ini meneliti hubungan antara budaya organisasi dengan tingkat stress pada pekerjaan. Pool menemukan bahwa pelaksana pekerjaan yang bekerja atas desar budaya konstruktif, sangat berperan aktif mengurangi tingkat stress dalam sebuah lingkungan pekerjaannya. Dan hasilnya menunjukkan bahwa budaya yang konstruktif sangat berperan aktif dan secara signifikan mampu mengurangi tingkat stress. Dengan demikian, budaya organisasi yang konstruktif tersebut akan dengan mudah menurunkan tingkat ketegangan dalam bekerja serta meningkatkan kepuasan kerja, kinerja dan komitmen pekerjaan.
o   Studi empiris yang disajikan oleh Gifford, Zammuto dan Goodman (2002).
Goodman dkk (2002)  dalam studinya menggunakan organisasi rumah sakit sebagai obyek riset menemukan bahwa organisasi yang lebih berfakus pada  budaya clan (human relation quadran) memiliki kualitas hidup kerja yang lebih baik. Sebaliknya di dalam orgarnisasi yang budaya hierarchy-nya  sangat dominan mengakibatkan penurunan komitmen, keterlibatan, pemberdayaan, kepuasan kerja dan lebih tinggi tingkat  turn over karyawannya. Menurut Cameron  dan Quinn (1999). praktek MSDM yang efektif memerlukan  aspek-aspek dan kesesuaian dengan salah satu dari empat kuadran budaya organisasi dorninan yang dimiliki organisasi. Sebagai contoh, membangun  budaya organisasi yang berfokus pada kontrol proses internal (hierarchy) membutuhkan ahli-ahli administratif yang berfokus pada proses re-enginering dan menciptakan infrastruktur yang efisien.. Membangun budaya adhocracy (open system) memerlukan agen perubahan yang mampu memfasilitasi transformasi dan pembaharuan organisasi.
Dengan nenggunakan beberapa analisis data penelitian ini menunjukkan bahwa budaya olganisasi tidak rnempengaruhi kualitas kerja para perawatnya, namun lebih mengutamakan hubungan antar manusianya  yang mampu menciptakan budaya positif berkaitan dengan komitmen,organisasi, keterlibatan pekerjaan,serta pemberdayaan dan juga tentunya kepuasan kerja yang lebih optimal.
o   Studi empiris yang disajikan oleh Gray, Densten dan Sarros (2003)
Studi ini meneliti pemahaman tentang budaya organisasi dangan kepuasan kerja dalam sebuah organisasi kecil (yaitu sebuah organisasi yang mempekerjakan kurang dari 100 karyawan). Data yang dikumpulkan dari survei menghasilkan total akhir tanggapan yang digunakan sebanyak 1918 (yaitu mewakili 39 % tingkat tanggapan). Dan hasilnya menunjukkan bahwa sebuah penekanan pada penghargaan (imbalan) dipandang sebagai sebuah dukungan terhadap karakteristik budaya yang mendominasi, dimana disanalah  terdapat hubungan yang kuat dengan tingkat
kepuasan  kerja.
                    Oleh sebah itu, dalam suatu organisasi dibutuhkan pemahaman budaya yang kuat dalam setiap pengembangan kinerja. Karena dengan pengaruh budaya organisasi tersebut dihasilkan tingkat kepuasan kerja yang maksimal. Dari beberapa pembahasan di atas, jelas terlihat bahwa suatu budaya organisasi tidak memiliki pengaruh yang sangat penting dalam rnenciptakan kepuasan kerja bagi karyawan. Karena semua keberhasilan yang diraih dalam suatu organisasi merupakan pengembangan terhadap tujuan organisasi yang sesuai dengan nilai manajerial,  pola sikap, dan perilaku masing-masing karyawannya.
16.   Hubungan Kerja
o   Hubungan dengan rekan kerja
Ada tenaga kerja yang dalam menjalankan pekerjaannya memperoleh masukan dari tenaga kerja lain (dalam bentuk tertentu). Keluarannya (barang yang setengah jadi) menjadi masukan untuk tenaga kerja lainnya. Misalnya pekerja konveksi. Hubungan antar pekerja adalah hubungan ketergantungan sepihak yang berbentuk fungsional. Kepuasan kerja yang ada timbul karena mereka dalam jumlah tertentu berada dalam satu ruangan kerja sehingga dapat berkomunikasi. Bersifat kepuasan kerja yang tidak menyebabkan peningkatan motivasi kerja. Dalam kelompok kerja dimana para pekerjanya harus bekerja sebagai satu tim, kepuasan kerja mereka dapat timbul karena kebutuhan-kebutuhan tingkat tinggi mereka seperti harga diri, aktualisasi diri dapat dipenuhi dan mempunyai dampak pada motivasi kerja mereka.
o   Hubungan dengan atasan
Kepemimpinan yang konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja adalah tenggang rasa (consideration). Hubungan fungsional mencerminkan sejauhmana atasan membantu tenaga kerja untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa, misalnya keduanya mempunyai pandangan hidup yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar